...ooo...

Mara Media
Pustaka Jiwa Bangsa



Jumat, 12 Februari 2010

Halumma Ila Mardhatillah (Mari Menuju Mardhatillah)

Buku Terbaru

Halumma Ila Mardhatillah
(Mari Menuju Ridha Allah)



-----------------------------------------------
Pengarang : Ibnu Bahasan

Penerbit    : Mara Media Publishing
Halaman   : 152 hlm. + xvii
Ukuran     : 14,5 x 20 cm
Cetakan I : Februari 2010
Harga       : Rp. 27.500,-
------------------------------------------------

Buku ini mengupas Iman, Islam, dan Ihsan, sebagai sendi dasar ajaran Islam dalam konteks hablum minallah dan hablum minannas, baik sebagai invidu maupun dalam kehidupan sosial/jama’ah.

Selama ini pembahasan tentang Ihsan (kedekatan dengan Allah sampai seolah-olah melihatNya) biasanya dikaitkan dengan Tareqat atau Tasawwuf. Dalam buku ini, Ihsan dimaknai sebagai suatu struktur kemasyarakatan Muslim (Muslim Social Structure), sebagaimana Islam dan Iman yang diartikan sebagai Standard Muslim Practice dan Standard Muslim Ideology.
Sejarah perjalanan Islam sejak periode Madinah sampai ke masa kini dan perkembangannya di Indonesia diulas sebagai lintasan sejarah yang ringkas, jelas, dan lugas. Melalui analisa sejarah, sirah nabawiah, dan sumber utama ajaran Islam (al-Quran dan Hadits) buku ini mengungkap dengan gamblang bahwa hubungan Islam dan politik dalam berbangsa dan bernegara adalah sebagai bagian dari kewajiban seorang Muslim dalam menjalankan dan menerapkan Syari’at Islam secara total dan sempurna (kaffah).
Buku yang memperkaya khazanah kepustakaan tentang keagamaan, sejarah dan sosial politik ini diharapkan dapat memotivasi seorang Muslim untuk mengaktualisasikan keimanan dan keislamannya dalam kehidupan pribadi dan sosial. Juga dapat menjadi inspirasi untuk melakukan kajian lebih mendalam mengenai Islam dan sosio politik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam kon-teks global, regional, nasional, maupun lokal.

ISLAM: BAHASA, BANGSA, DAN NEGARA

Muqaddimah

“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah Malayu. Kemungkinan pepatah ini berasal dari amtsal (pepatah) Arab.

Setiap bangsa di dunia mempunyai bahasa. Bahasa yang sama biasanya merujuk ke satu bangsa. Keberadaan bangsa-bangsa di dunia, biasanya ditandai dengan berdirinya pemerintahan atau negara. Dengan adanya negara, maka bangsa dan bahasa dapat terbentuk secara sempurna.
Kita temukan dalam sejarah, ada bangsa dan bahasa yang pernah ada dan selanjutnya hilang (lenyap). Kita ambil contoh, misalnya bangsa Qibti yang mempunyai sejarah panjang sebagai penguasa (pemerintah) lembah Nil, di Mesir. Bahasa dan aksara hieroglif (tulisan paku) dari bangsa ini, lenyap ditelan sejarah. Hilangnya bahasa dan bangsa tersebut berkait erat dengan hancurnya pemerintahan (negara) mereka.

Lain halnya bangsa Yahudi, yang di zaman kejayaannya memerintah di Baitul Maqdis dan sekitarnya. Bangsa ini punah sejalan dengan hancurnya pemerintahan (negara) mereka. Bahasa dan tulisan mereka juga hampir-hampir lenyap ditelan zaman. Namun di abad 20 (1948) mereka dapat mendirikan Negara Israel. Dari situlah bahasa dan bangsa mereka dihidupkan kembali, hingga hari ini.

Begitulah berlaku sunnahtullah dalam bangsa, bahasa, dan negara. Lahir, tumbuh berkembang dan mati, hingga hilang lenyap. Peristiwa sejarah tersebut, ada yang tercatat dalam sejarah umat manusia dan banyak yang tidak tertulis atau terdengar lagi kabarnya oleh generasi yang datang kemudian.

Dalam makalah ini kita tidak akan membahas tentang bangsa-bangsa atau bahasa-bahasa umat manusia. Tetapi kita akan mencoba memahami, bagaimana wahyu Allah Azza wa jalla (al-Quran) dapat mempengaruhi bahasa dan bangsa atau membentuk bangsa dan bahasa di pentas peradaban dunia Islam.

Bangsa dalam Pengiktirafan (Legitimasi) Wahyu

Bangsa tidak selalu berasal dari satu keturunan nenek moyang. Sebagaimana dapat kita lihat dalam al-Quran, surah Al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q. S., Al-Hujurat, 49: 13)

Kata “sya’bun dan syu’ub” berarti bangsa yang terdiri dari berbagai “qabilah dan qaba’il” yang menjadi satu, dan biasanya terbentuk dari satu pemerintahan yang sama. Sedangkan “qabilah dan qaba’il” terdiri dari beberapa “bani-bani” yang terikat dalam perjanjian bersama. Kata ”bani” sangat erat dengan kelompok yang berdasarkan dari keturunan yang sama.
Dalam Al-Quran kita jumpai sebutan anak-anak Bani Adam, yang merujuk kepada sekalian manusia. Dan Anak-anak Keturunan Israil, adalah Bani Israil, yang merujuk kepada keturunan Nabi Allah Ya’kub A. S.

Pengertian Arab Menurut Wahyu (al-Quran)

‘Arab (‘ain, ra, dan ba) artinya lurus, jelas, dan tepat. Pengertian ini dapat kita rujuk kepada ayat al-Quran. Misalnya dalam Surah Az-Zumar ayat 28:
(yaitu) Quran yang “’arab” yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa (Q. S. Az-Zumar, 39: 28).
Bandingkan kemudian dengan ayat 37 Surah ar-Ra’d:

“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan al-Quran itu sebagai hukum (peraturan) yang ‘arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah. (Q. S. ar-Ra’d, 13: 37).

Pengertian yang sejalan dengan makna ayat al-Quran di atas, kita temukan dalam beberapa surat lainnya, diantanya: an-Nahl, 16: 103, asy-Syu’ara’, 26: 195, Yusuf, 12: 2 dan Thaha 20: 113, dan lain lain. Semua pengertian tersebut dapat kita kelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1, lisan yang ‘arab, 2, Qur’an yang ‘arab dan 3, hukum yang ‘arab. Semua pengertian tersebut menunjukkan kepada makna bahasa, yaitu lurus, jelas dan tepat. Lawan katanya adalah a’rab (hamzah, ain, ra, dan ba) yang berarti bengkok, berubah-ubah dan tidak jelas. Ini dapat kita lihat dalam ayat yang menerangkan tentang kaum Arab sekitar Jazirah Arab yang menentang Islam, yaitu dalam surah at-Taubah ayat 97, 98, 91, 99, 100, 102, 121.

Orang A’rab yang dimaksud ayat di atas merujuk kepada bangsa ketika itu. Al-Quran menjebut mereka sebagai A’rab. Hal ini kemungkinan disebabkan sifat dan tabiat mereka yang suka plinplan dan ingkari janji. Oleh karena itu mereka dinamakan a’rab (hamzah, ain, ra dan ba) untuk membedakan dengan ’arab (‘ain, ra, dan ba).

Al-Quran dan Bahasa Arab

Al-Quran itu adalah bahasa Arab[1], tepatnya sebagai bahasa wahyu yang diturunkan Allah Azza wa Jalal kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril As. Untuk memahami al-Quran, selain dituntut kemahiran dalam bahasa Arab juga diperlukan keimanan (Iman, Islam, Ihsan) kepada Allah dan Rasul-Nya. Tanpa yang terakhir ini, pemahaman tentang wahyu ilahi (al-Quran) akan jauh tersesat dari kebenaran (songsang).

Pengaruh dan peran bahasa al-Quran dapat kita saksikan dalam membentuk, dan mengembangkan penstrukturan bahasa Arab. Sebelum turun wahyu (datangnya Islam), bahasa Arab merupakan bahasa yang beragam dari dialek kabilah-kabilah padang pasir dan digunakan bercampur baur dengan bahasa-bahasa yang ada saat itu.

Sarjana bahasa berkesimpulan bahwa bahasa-bahasa di Semenanjung Arab tergolong kepada satu keluarga demografi, yang disebut bahasa Semit, dan dapat diklasifikasikan menjadi:
  1. Tergolong kepada separuh bahagian Utara Semenanjung Tanah Arab:
    Timur: bahasa Akkadia atau Babylon, Assyria.
    Utara : bahasa Aramik dengan beberapa keragaman seperti bahasa Syria, Madain, Nabaten, bahasa Samaritan, Yahudi, Aramik dan Palmyra.
    Barat : Phoenisia, Yahudi Injil, dan logat Kan’an yang lain.

  2. Tergolong kepada separuh bagian Selatan Semenanjung Tanah Arab:
    Utara: Bahasa Arab.
    Selatan: Bahasa Sabak atau Himyar, dengan keragaman dari logat Minaea, Mahri dan Hakili; dan Geez atau Habsyah dengan keragaman logat Tigre, Amharik dan Harari.[2]
Catatan sejarah tertulis amat sedikit kita jumpai yang berkaitan dengan catatan bahasa Arab sebelum Islam. Namun demikian tidak diragukan, bahwa tradisi lisan Arab menjadi bentuk yang lengkap setelah turunnya al-Quran (wahyu). Hal ini mengindikasikan bahwa al-Quran mempunyai peranan utama dalam pembentukan bahasa Arab, seperti lahir dan berkembangnya ilmu Nahwu, Sharaf, Badi’ dan Balaghah.

Sejalan dengan itu, bahasa wahyu terus berkembang seiring dengan perkembangan pemerintahan Islam beserta bahasanya. Bermula dari Semenanjung Tanah Arab sampai ke Afrika Utara, berkembang menjadi bahasa dan bangsa Arab. Disamping itu, di bawah pengaruh Islam, bahasa Arab pun turut mempengaruhi bahasa Parsi, Turki, Urdu, Malayu, Indonesia, Hausa, dan Sawahili.

Bangsa Arab

Ilmuwan bangsa-bangsa membagi bangsa Arab kepada:


  1. Arab al-‘Aribah, bangsa Arab awal yang telah punah (Arab al-Ba’idah), yang kita ketahui dari pengkabaran wahyu, yaitu bangsa ‘Ad dan Tsamud (diantaranya diterangkan dalam Q .S. Hud, 11: 68 dan 95; al-Furqan, 25: 38).

  2. Arab Musta’ribah, suku Arab yang melalui proses pengaraban karena perpindahan mereka ke Jazirah Tanah Arab. Misalnya keturunan “Adnan dan Fihr”, termasuk keturunan Nabi Ibrahim melalui anaknya Nabi Ismail.

  3. Arab al-Muta’arribah; yaitu kabilah Arab yang di-arab-kan oleh kabilah Arab yang lain.
    Apa yang diungkap sejarawan tersebut berkaitan dengan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Tetapi setelah datangnya Islam yang berkembang begitu pesat di Semenanjung Tanah Arab sampai ke Afrika Utara, dapat kita saksikan pengaruh bahasa Arab terhadap bangsa Arab al-Muta’arribah. Misalnya perkembangan bahasa Arab di Iraq (dulu berada di bawah imperium Parsi), dan sebelah Utara Semenanjung sampai ke Afrika Utara yang sekarang termasuk wilayah negara Marokko, Libya, Tunis, Sudan, Mesir, Palestina, Siria, Lumban dan lain lain. Semua kawasan itu dapat kita kelompokkan menjadi Arab Muta’arribah. Populasi mereka saat ini, termasuk yang ada di Jazirah Tanah Arab (Saudi Arabiah) tidak kurang dari 150 juta jiwa.

Panji Islam dan Bangsa-bangsa Besar


Islam dan umatnya di Madinah telah berkembang menjadi suatu pemerintahan sendiri. Dapat dikatakan Negara Islam zaman Rasulullah SAW ketika itu telah “setaraf” kedudukannya dengan imperium besar Romawi di sebelah Utara Semenanjung Tanah Arab dan imperium Parsi di sebelah Barat. Setaraf dalam pengertian mencukupi “rukun serta syarat” untuk disebut sebagai sebuah negara yang berdaulat. Yaitu mempunyai; (1) Pemerintahan yang jelas, berpusat pada kepemimpinan Muhammad Rasulullah SAW. (2) Mempunyai rakyat (ummat) sendiri. (3) Ada daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya dan (4) Mempunyai pasukan tentara (militer). Unsur ke empat ini (militer) sebenarnya bukan merupakan unsur pokok (utama), tetapi keberadaannya penting bagi sebuah Negara.

Ketika kaum Muslimin masih di Makkah, sebelum hijrah. mereka hanya memiliki dua syarat utama untuk menjadi sebuah negara, yaitu pemerintahan sendiri yang berpusat pada Rasulullah SAW dan rakyat yang mentaati pemerintahannya. Sebagai perbandingan, dewasa ini kita temui juga ada negara yang tidak mempunyai pasukan tentara sendiri (militer), yaitu: Monaco dan Vatikan misalnya.

Sepeninggal baginda Rasulullah SAW (11 H./632 M.), pemerintahan Islam atau yang kemudian dikenal dengan al-Khilafah al-Islamiyah di bawah Khalifatu ar-Rasul (Abu Bakar as-Sidiq, Amirul Mu’minin Umar ibnu Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), dapat menghalau pengaruh Romawi dan Parsi dari Semenanjung Tanah Arab. Pemerintahan Rasulullah sampai kepada ar-Khulafa al-Rasyidun merupakan negara yang murni keagamaan. Sukar bagi pengkritik dari kalangan pakar ketatanegaraan menemukan cacat-cela dalam pemerintahannya. Tetapi pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah, warna ke-arab-annya lebih menonjol (dominan).

Pusat pemerintahan Islam pada awalnya di Madinah al-Munawwarah. Di masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib, pusat pemerintahan Islam dipindahkan ke Kuffah, sejalan dengan perubahan politik yang berlaku ketika itu. Dari perubahan ini dapat kita saksikan juga perubahan pendukung kuat Khalifah. Dengan pindah ke Kuffah berarti lebih dekat dengan bangsa Arab al-Muta’arribah keturunan Parsi. Lain halnya ketika pusat Pemerintahan Islam di Pusat Jazirah Tanah Arab, di Madinah.

Bani Umayyah memusatkan kekuatannya di Utara Jazirah Tanah Arab, di Bandar Damsyiq (Damascus). Pengaruhnya sampai ke Utara Afrika melintasi Laut Tengah sampai ke tanah Andalusia (Spanyol). Dari Bani Umayyah tampuk pimpinan umat Islam pindah ke tangan Bani Abbasiyyah. Pusat pemerintahan mereka berada di Bagdad dengan dukungan kuat dari Khurasan (Arab al-Muta’arribah keturunan Parsi). Sampai di sini kita masih menyaksikan bangsa Arab memimpin umat Islam dunia ketika itu.

Seterusnya, bangsa Tartar menghancurkan Baghdad dan negri-negri Islam. Dapat dikatakan, hanya pemerintahan Islam di Barat (Berpusat di Andalus) yang tidak tersentuh pengaruh mereka, yaitu masih mempertahankan ciri khas ke-arab-annya.
Perubahan terjadi sejalan dengan Moghul masuk Islam, dan merekalah yang berperan penting dalam ekspansi ke Benua India membawa panji-panji Islam, kelanjutan dari yang diprakarsai Bani Umayyah. Peninggalan mereka masih dapat kita saksikan hingga hari ini, dalam bentuk arsitektur istana dan budaya (Taj Mahal, misalnya).
Tak kalah pentingnya setelah itu, adalah peranan Bangsa Saljuk, Turki dalam sejarah Pemerintahan Islam. Di Barat, mereka dikenal sebagai pemerintahan Othaman. Di zaman Khilafah Utsmaniyyah ini Islam mencapai kegemilangan dengan menaklukkan imperium Bizantium di Konstantinopel dan ekspansi ke tanah Eropah.

Akhirnya takdir ketentuan Allah Azza wa Jalla menentukan, al-Khilafah al-Islamiyyah dalam Islam pun berakhir. Tahun 1924 M. merupakan tahun di bubarkannya institusi Khalifah dan Sultan di Turki oleh anak bangsanya sendiri. Lalu berdirilah apa yang mereka sebut sebagai Turki Modren (baru).

Panji Islam dan kegemilangannya telah dipegang oleh berbagai bangsa. Bermula dari Bangsa Arab, Mughol dan Saljuk. Sejalan dengan itu, di Asia Tenggara, bangsa Melayu mempunyai sejarahnya sendiri dalam memerintah kesultananan di sekitar khatulistiwa. Membentang dari Semenanjung Malaya di Barat sampai kepulauan Maluku di Timur. Dari Kepulauan Besar (Filipina) di Utara khatulistiwa, sampai kepulauan Nusa-tenggara di Selatan.

Dengan runtuhnya pemerintahan Islam,--al-Khilafah al-Islamiyyah yang berawal di Madinah al-Munawwarah dan berakhir di Istambul, Turki (1924)--maka kaum muslimin (ummat Islam) pun bagai anak-anak ayam yang kehilanggan induknya, tidak ada yang memimpin dan melindunginya. Sebagian besar bangsa yang dahulu menjadi bagian dari al-Khilafah al-Islamiyyah, menjadi negara yang berdiri sendiri atau dijajah bangsa lain (Inggris, Perancis, Belanda, Rusia, dan Amerika).

Benarlah apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW,
Bermula Islam itu gharib (asing, aneh) dan akan kembali gharib. Berbahagialah orang-orang yang ghuraba’” (H. R. Muslim)[3]

Indunesians or Malayunesians[4]

Sub-judul ini dikutip dari usulan yang diajukan George Samuel Windsor Earl (1813-1865), berkebangsaan Inggris[5], dalam jurnal yang dikelolanya di Singapura (1850). Ia mengusulkan nama tersebut untuk menunjukkan bangsa, agama, dan pemerintahan di rantau Asia Tenggara. Dalam artikelnya, Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Malayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: "... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians".

Kita tidak menemukan rujukan yang tepat, untuk menunjukkan kapan awal mula bangsa Malayu berada di kepulauan ini. Diantara definisi tentang Malayu adalah: “Bangsa Malayu ialah orang-orang Islam yang beradat-resam (adat istiadat) Malayu dan bertutur dengan bahasa Malayu”. Bertolak dari definisi tersebut, bisa kita katakan bahwa penamaan Malayu meliputi pengertian bangsa, bahasa, dan agama, juga pemerintahan (kerajaan/negara).

Sebelum lebih jauh membicarakannya, ada baiknya kita simak terlebih dulu arti kata Malayu[6]. Kita mencoba memahami kata tersebut dari sudut kajian bahasa Arab, yaitu bahasa agama yang mereka anut (Islam). Asumsi pertama, bahwa Malayu tidak dapat dipisahkan dari akar agama mereka (Islam). Orang Malayu yang menukar agamanya (Islam), akan tercerabut dari akar bangsanya. Kedua, penamaan Malayu menunjukkan bangsa, bahasa, dan negara, diduga berasal dari bangsa Arab zaman kegemilangan Islam di Bagdad (Bani Abbasiyah pada abad 10 M.).

Dengan demikian, kata Malayu dekat dengan ucapan Bahasa Arab Mala’miyah (mim, lam, hamzah, mim, ya, dan ha). Ada perubahan dalam penuturannya, menjadi Malâmiyah (hamzah berubah menjadi huruf alif dengan panjang dua harkat). Kemudian, mim kedua turut lenyap (mungkin disebabkan sukar dalam pengucapan), sehingga menjadi: Malayah. Selanjutnya, huruf ha di akhir kata juga dihilangkan, tidak berbunyi lagi, maka jadilah sebutannya Malaya atau Malayu, dan ada yang menyebutnya Melayu.

Arti Kata Mala’miyah[7]

Mala’miyah tersusun dari dua perkataan. Pertama Mala’ (mim, lam dan hamzah) bermakna: Penguasa, Petinggi, Pemegang keputusan (Pemerintah). Kedua Miyah bermakna air. Bisa dikatakan, arti kata Mala’miyah merujuk pada pengertian penguasa/petinggi/pemerintah air (laut). Dan kalau dibaca dengan “mil’u” bermakna dipenuhi, yang mengandung pengertian dipenuhi air, yaitu tempat (pulau-pulau) yang dipenuhi atau dilingkungi air.

Untuk memperkaya wawasan, ada baiknya kita berwisata ke kota/bandar pertama yang dibangun di awal Pemerintahan Abbasiyah (836 M.). Sampai sekarang kota tersebut masih ada dan dikenal sebagai Kota Samarra. Nama asal kota tersebut dalam bahasa Arab: Surra man ra’a (Menggembirakan bagi siapa yang melihatnya), lalu pengucapannya berubah karena perbedaan lidah dalam pengucapan bangsa asing yang bukan berbahasa Arab.

Begitu juga halnya dengan istilah/sebutan nama pangkat di tentara-laut, seperti: Admiral, yang masih digunakan sampai sekarang. Pangkat ini merupakan gelar tertinggi bagi panglima tentara angkatan laut di masa Pemerintahan Bani Umayyah. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab: ‘Amir al-Bahr, yang artinya “gubenur laut/penguasa tertinggi laut” yang bertindak atas nama Khalifah. Tentu saja akan banyak kita jumpai istilah bahasa Arab yang diserap atau digunakan dalam berbagai bahasa dunia. Termasuk dalam istilah matematika, sains, kedokteran, dan politik/ketatanegaraan.

Kesultanan Islam

Islam datang ke Jaziratuh al-Jawa (alam Malayu, Nusantara, Timur Jauh) diperkirakan sezaman dengan ketika Islam tersebar di Semenanjung Tanah Arab (Abad pertama Hijrah). Hal ini dimungkinkan karena bagi orang Arab hubungan perdagangan telah berlangsung sejak sebelum Islam datang. Pusatnya di Sumatera, Selat Malaka dan Jawa. Tempat tersebut dijadikan sebagai pelabuhan transit pelayaran perdagangan mereka dari teluk Parsi menuju China (Canton). Seperti halnya tempat transit mereka lainnya di Malabar, Caylon (Sarandib). Pelayaran dari Sumatera, Selat Malaka, dilanjutkan ke Utara Brunai, dan Mindanao yang selanjutnya menuju China (Canton).

Ketika Islam menyebar di tempat-tempat persinggahan tersebut, maka sudah dapat dipastikan, tempat itu menjadi kawasan awal pemukiman masyarakat Muslim. Barulah pada awal abad ke-11 M. (ada yang mengatakan pertengahan abad ke-12 M.) tercatat adanya pemerintahan Islam (negara) di Asia Tenggara. Ini berdasarkan laporan pelayaran Marco Polo, Venisia (tahun 1292 M./692 H.) bahwa “Abdullah ‘Arif merupakan penggagas Nagara Islam di Aceh Sumatera pada pertengahan abad ke-12 M. Apabila kita bandingkan dalam naskah yang ditemukan kemudian di Aceh, yaitu Idah al-haqq fi Mamlakat Peurela karya Abu Ishaq Makarani dan Tawarikh Raja-raja Pasai, menyebutkan, bahwa Kesultanan Pasai telah berdiri tahun 433 H./1042 M. [8]
Pemerintahan pada masa raja “Sri Paduka Sultan Abdullah” di Pasai, merupakan puncak masa keemasannya, setelah melalui proses panjang. Namun semua itu tidak menafikan kemungkinan adanya kerajaan-kerajaan Islam kecil yang telah berdiri lebih awal.[9]

Sewaktu terjadi pembumihangusan lewat penaklukan bangsa Tartar terhadap Dinasti Abbasiyah, Bagdad, (tahun 1285M), berlangsungnya migrasi (perpindahan) penduduk secara besar-besaran ke Asia Tenggara. Maka sejak abad ke-13 M., kawasan ini telah menjadi saksi perluasan wilayah kekuasaan Islam yang pesat. Semua itu dimungkinkan karena banyak ulama, tentara yang tidak aktif lagi, ahli Sufi, pengrajin dari semua lapisan masyarakat lainnya yang pindah ke Timur Jauh (Nusantara)[10] untuk mencari keamanan dan perlindungan dari penindasan dan kekejaman orang Tartar. Di masa itu pun banyak tumbuh kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara. Hal ini sejalan dengan perkembangan di dunia Islam pada umumnya, ketika itu, yang berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan kecil. Biasanya disebut sebagai Mamalik al-Athraf (awal abad ke-13 M.)[11]

Pemerintahan Islam (dapat juga dikatakan sebagai negara Islam) yang berbentuk kesultanan ini mengatur Tanah Malayu (Nusantara, Asia Tenggara) meliputi wilayah yang cukup luas. Bisa diperkirakan, dari masa Kesultanan Pertama (Abad 11 M./12 M.) hingga datangnya bangsa Portugis yang menghancurkan kota Malaka (1511 M.), Islam telah memerintah di Tanah Malayu selama 300 tahun. Jika sampai datangnya penjajahan Belanda (1611 M.), maka usia kesultanannya mencapai 400 tahun. Kalau kita lanjutkan hingga musnahnya kesultanan-kesultanan di Indonesia (Abad 20 M), usianya adalah sekitar 800 sampai 900 tahun. Artinya, kedatangan penjajah Portugis, Inggris dan Belanda maupun Amerika Sarikat tidak dapat dibandingkan dengan lamanya Islam dan kerajaannya (Kesultanan) berada di Nusantara.
Abad 13 M. dapat dicatat sebagai masa kegemilangan kesultanan dalam bidang perdagangan hingga abad ke-14 M./15 M. Tepatnya, sebelum datang penjajah Portugis ke Malaka (1511 M.). Perniagaan mereka ketika itu, berskala internasional, terutama di kawasan dunia Islam. Banyak disinggahi para pedagang China Muslim, Dinasti Ming (1368 M. - 1644 M.).[12] dan pedagang dari Eropah Muslim (Andalusia). Kapal kapal mereka berlabuh di bandar Pelabuhan Malaka (Semenanjung), Palembang (Sumatera), Gersik (Jawa), dan lain lain.

Banyak terdapat bukti sejarah mengenai perniagaan itu, misalnya,beredarnya mata uang emas Mesir, Arab Saudi, Iraq, Parsi, dan China di Nusantara. Juga mata uang emas kerajaan dari kawasan Samudera Pasai, Aceh dan Malaka (1445 M.). Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan, bahwa kedatangan Portugis, Inggris, Belanda dan Amerika adalah karena tergiur oleh kekayaan hasil-bumi di kawasan ini.

Bahasa dan Bangsa

Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, suatu bangsa biasanya terbentuk dengan adanya pemerintahan. Begitu juga halnya dengan kesultanan di rantau ini, yang telah melahirkan suatu bangsa yang disebut sebagai bangsa Malayu. Wilayahnya terbentang dari Utara pulau Mindanao sampai ke Selatan Tanah Jawa. Dan di Barat Semenanjung Tanah Malayu sampai ke Timur di kepulauan Maluku dan Papua (Irian), biasanya mereka mendiami daerah pesisir pantai.
Bangsa Malayu yang dimaksud adalah mereka yang beragama Islam. Beradat istiadat Malayu dan bertutur dengan bahasa Malayu. Sebahagian besar menetap di Semenanjung Tanah Malayu dan kepulauan Nusantara. Lebih spesifik lagi, bangsa ini terdiri dari suku kaum Banjar, Minangkabau, Jawa, Bugis atau keturunan Arab, Parsi, Turky, China, dan lain lain yang bermukim di kawasan ini. Persamaan yang mencolok tampak pada mereka adalah: (1) Islam agama yang mereka anut (2) Adat-istiadat yang sama. (3) bahasa lingua frangca yang sama, dan (4) Sultan atau kesultanan menjadi pemimpin mereka.

Bahasa Malayu, merupakan bahasa yang berkembang setelah datangnya Islam. Ia merupakan perpaduan dari bahasa Arab (80%) dan bahasa Parsi dengan campuran bahasa lokal (misalnya, Jawa, Banjar, Bugis, Minang dan lain lain) serta menjadi lingua frangca masyarakat. Kata Malayu juga digunakan sebagai pembeda dalam hal kepercayaan. Seperti suku asli Dayak, Kubu, Dusun, dan lainnya tidak disebut sebagai Malayu. Lain halnya kalau mereka telah beragama Islam, maka mereka biasanya disebut dengan istilah “masuk Malayu”.

Di zaman kejayaannya, bahasa Malayu menjadi bahasa komunikasi resmi dalam bidang politik dan perdagangan di Asia Tenggara hingga ke Indo-China. Dalam perkembangannya, dikenal dengan lahirnya aksara (abjad) Malayu, yang disebut juga tulisan Arab-Malayu (Tulisan Jawi) yang menggunakan huruf/abjad Arab dengan tambahan huruf yang sesuai dengan lidah setempat. Hal ini memperlancar bidang surat menyurat Malayu.

Barkaitan dengan bahasa sebagai sarana dakwah agama, bahasa Malayu telah menjadi bahasa kedua untuk memahami dan belajar Islam. Anak watan (pribumi) yang tidak dapat berbahasa Arab dapat memahami Agama Islam sama baiknya dengan saudara mereka di Dunia Islam lain, yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa-ibu mereka.

Selain itu bahasa tersebut juga merupakan bahasa resmi yang digunakan sebagai bahasa diplomatik/politik di kalangan bangsa serantau dan internasional. Juga dapat kita temui penulisan dalam bidang Fiqh (Perundangan), Tauhid dan Tasawuf serta berbagai terjemahan al-Quran dalam bahasa Malayu.[13] Dalam bidang undang-undang kita dapat merujuk kepada Kitab Kanun Laut Malaka (pertengahan abad ke-14 M.).

Tidak berlebihan bila kita katakan bangsa, bahasa, dan kesultanan (pemerintahan) Malayu, lahir dengan datangnya Islam. Ikatan kuatnya terletak dalam kepercayaan agama Islam. Dalam istilah ilmu nasab, Malayu adalah dalam posisi sebagai “anak” kepada Islam.

Indonesia, bangsa dan bahasanya juga berasal dari bahasa Malayu. Ia merupakan bangsa yang termuda, lahir di awal abad ke-20. Tidak keliru kalau dikatakan, bahwa Indonesia, dalam istilah ilmu nasab diibaratkan sebagai “cucu” kepada Islam. Karena itu dapat kita pahami, mengapa umat Islam di Indonesia begitu banyak (mayoritas). Menurut statistik melebihi 90% dari sekitar 250.000.000 jiwa warganya. Jumlah ini melebihi jumlah keseluruhan bangsa Arab dewasa ini.

Ummat Islam Era Penjajahan

Membincangkan Muslim di rantau ini, tidak dapat dipisahkan dari saudara mereka di dunia Islam lainnya. Sebab apa yang berlaku pada Muslim di ceruk lain membawa dampak kepada Muslim di rantau lainnya. Mungkin ini merupakan fakta akan kebenaran dari apa yang disebutkan Allah dalam al-Quran bahwa antar sesama Mukmin itu adalah bersaudara:
“Sesungguhnya orang-orang Mu’min itu bersaudara karena itu damaikanlah antara dua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Q. S al-Hujurat, 49: 10)” . Dalam sebuah hadits, Muhammad Rasulullah SAW bersabda, “Mu’min itu bersaudara, seumpama jasad yang satu.[14]


Peristiwa bersejarah jatuhnya Kota Konstantinopel, Empayer Byzantium (20 R. Awal 857 H./29 Mei 1453 M.) di tangan Sultan Muhammad al-Fatih (Penakluk) Turky Usmaniyyah (833 H. – 886 H./1429 M. – 1481 M.), merupakan puncak kejayaan yang dapat dikenang ummat Islam. Di belakang hari kota ini menjadi pusat pentadbiran (pemerintahan) Kerajaan Usmaniyyah dengan nama Istambul (Pusat Negara Islam).

Tidak diragukan lagi bahwa kejayaan itu membuka pintu bagi Islam (Usmaniyah) menuju ke Eropah dari belahan Timur dan sekaligus dapat menghadang gangguan dari musuh-musuhnya. Tetapi tidak lama berselang, 40 tahun kemudian giliran ummat Islam habis terusir dari benua Eropah (Andalusia). Tanah yang telah mereka diami beratus-ratus tahun, yaitu dari tahun 138 H./756 M. hingga 1492 M. Bersamaan dengan jatuhnya Kerajaan Islam Granada, 897 H./1492 M.[15] Tahun itu dapat dianggap sebagai tonggak bermulanya era penjajahan di tanah Muslim, khususnya di Asia Tenggara.

Pada awal abad ke-16 M. bangsa Portugis/Spanyol memulai dua pelayaran. Ke arah Barat dari Lisabon mereka menemukan benua Amerika (pelayaran Colombus tahun 1492 M.) dan ke Selatan sampai ke Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), Afrika Selatan. Kemudian dilanjutkan menuju ke Goa, India (pelayaran Alfonso d’Albouquerque tahun 1503 M.). Pelayaran yang mereka katakan sebagai perdagangan, sebenarnya membawa misi yang jelas, yaitu untuk pendudukan (penjajahan). Kita katakan demikian, karena ada beberapa bukti, antara lain: kapal-kapal dagang mereka dilengkapi dengan meriam dan pasukan tentara[16]. Keberangkatan mereka dengan restu dan doa Paus. Mereka juga diberi kuasa untuk berunding, berperang, atau damai dan menguasai tanah/wilayah sebagaimana layaknya sebuah pemerintahan.

Telah menjadi wacana umum di kalangan akademisi Muslim, misi utama mereka dapat disimpulkan dalam 3 G (Gospel, Gloria, dan Gold). Kemenangan (Gloria) dan harta kekayaan (Gold) memang mengalir deras ke negara mereka, sehingga terjadi peperangan antara mereka dengan Inggris dan Belanda. Berkaitan dengan Gospel (Injil), dapat kita jumpai dalam ungkapan bahasa Malayu: orang Serani[17] atau masyarakat Serani. Sampai sekarang masyarakat ini ada di Malaka (Semenanjung), Tanah-Karo (Sumatera Utara), Jawa Tengah (Jawa), Minahasa, Menado (Sulawesi), dan Luzon (Filipina).

Tahun 1511 M.[18] tercatat sebagai tahun penjajahan awal di rantau Asia tenggara. Tahun kedatangan armada laut Portugis itu telah menghancurkan Kerajaan Islam yang berpusat di Kota Malaka (Semenanjung). Dan mulailah Portugal mengganggu kestabilan serantau di bidang ekonomi-sosial dan pemerintahan. Dalam usaha menguasai wilayah jajahan, mereka berusaha untuk mempertajam perselisihan antar sesama Kerajaan Islam dan dengan kerajaan Hindu.
Mereka jadikan rantau (nusantara) ini sebagai ajang permusuhan. Lalu diperkeruh lagi dengan datangnya bangsa Inggris dan Belanda (awal abad 17 M.). Sehingga kawasan ini menjadi tidak aman, tempat perebutan kekuasaan, monopoli perdagangan dan sekaligus sebagai lanjutan medan peperangan mereka yang sudah berlangsung di Eropa. Kekalahan Portugis/Spanyol memaksa mereka angkat kaki meninggalkan kota Malaka (1641 M.). Hal ini menjadikan bangsa Inggris dan Belanda bersekutu sebagai penguasa di Nusantara sampai pertengahan abad ke-20.
Penjajahan Belanda di kawasan ini bermula dengan dibangunnya kota Batavia (1621 M.) yang ketika itu di bawah Kerajaan Islam Banten sebagai wakil Sultan Agung Mataram. Berawal dari situlah, pada perkembangan berikutnya banyak kita temui kota-kota yang dijadikan pertahanan Belanda di Nusantara, seperti Kota Malaka (De Stad en Kasteel Malacca, 1641 M. – 1824 M.), Kepulauan Maluku, dan lain lain. Inggris juga menjejakkan kakinya di Pulau Pinang pada tahun 1786 M.

Dominasi kekuasaan penjajahan Inggris dan Belanda, diantaranya tampak dari usaha campur tangan mereka dalam mengangkat dan menurunkan Sultan-sultan Kerajaan Islam, atau membuang penguasa lama ke negeri jajahan mereka di Afrika Selatan (Cape Town), Caylon (India) dan yang terjauh[19] sampai ke Suriname (Amerika). Dengan demikian, Sultan yang tinggal dan berkuasa adalah para Sultan yang loyal atau dapat diajak kerjasama serta dikendalikan oleh mereka.

Perusahaan dagang Inggris didirikan pada 31 Desember 1600 M. yang dinamakan The Britisch East India Company, berpusat di Kalkuta. Sedangkan perusahahan dagang Belanda VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, Perkumpulan Dagang India Timur)[20], didirikan pada 20 Maret 1602 M. Kedua perusahan tersebut berperan sebagai kepanjangan tangan dari negara masing-masing, dan bertanggung jawab dalam mengendalikan semua daerah jajahan mereka. Disamping itu, juga berperan untuk mengumpulkan keuntungan bagi kas negara mereka di Eropa.


Ringkasnya, sejarah penjajahan di rantau ini, menjadikan penduduk dan rakyat setempat sebagai barang dagangan, yang dapat diperjualbelikan. Misalnya pertukaran Bengkulu dengan Malaka antara Inggris dengan Belanda melalui perjanjian tahun 1824 M. atau Moroland (Filipina) yang berpindah tangan dari Spanyol ke Amerika melalui perjanjian Paris (Teaty of Paris) tahun 1898 M.[21] Semua itu berakhir dengan datangnya bangsa yang menyebut dirinya “saudara tua”, Jepang, tahun 1942 M. Jepang berusaha menjadikan nusantara ini sebagai realisasi dari “Asia Raya”, yang telah dicita-citakannya sejak lama. Pendudukan Jepang hanya bertahan singkat (1942 M. – 1945 M.). Selanjutnya berdirilah di kawasan ini beberapa negara merdeka yang berdaulat.

Malayu Abad ke-20

Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua (1942-1945) terjadi perubahan politik dan berubah pula peta dunia, khususnya di nusantara dan sekitarnya, yakni memasuki era kemerdekaan. Perubahan ini membebaskan tanah jajahan menjadi negara merdeka dengan pemerintahan baru, yang menjadikan bangsa Malayu terbagi menjadi beberapa negara.

Malaysia, negara federasi (1957). Negara ini masih mengekalkan kemalayuannya dengan bahasa Malayu dan adanya lembaga kesultanan serta Islam sebagai agama resmi.
Singapura (1964) yang berdiri sebagai negara setelah keluar dari federasi Malaya (Malaysia), merupakan Negara Republik. Berpenduduk minoritas Malayu, namun masih tetap mengekalkan bahasa Malayu sebagai bahasa resmi.

Indonesia (1945) menghapus bentuk kerajaan/kesultanan. Kecuali kesultanan Yogyakarta yang bersatus daerah istimewa, yang Sultannya berkedudukan setingkat gubenur provinsi. Menjadikan Bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa Malayu) sebagai bahasa resminya.
Filipina (1946), menjadi negara republik dengan menghilangkan semua bentuk kesultanan lamannya. Bahasa resminya adalah bahasa Tagalog.

Brunai (1970), mengekalkan ciri-ciri kemalayuan: bersultan dan Islam sebagai agama negara serta penggunaan bahasa Malayu dalam pemerintahannya.
Demikianlah paparan ringkas dari perjalanan Islam di dunia umumnya dan nusantara khususnya dari sudut bangsa, bahasa, dan negara (pemerintahan). Sampai hari ini masih kita saksikan riak dan gelombang perkembangannya dengan segala perubahan dan dinamikanya.

-----------------------------------

[1] Lihat Q.S. 41: 44 dan 14: 4.
[2] Lihat “Atlas Budaya Islam”, Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, Dewan Bahasa dan Budaya, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1992
[3] Lihat Kitab “Shahih Muslim bi Syarh Nawawi”, jilid, 2 hal. 175, dar ihya at-Turats, Bairut, Libanon, tahun 1984 M./1404 H.
[4] Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dapat dilihat dalam Wikipedia, internet.
[5] ibit.
[6] Penulis lebih cenderung memakai sebutan Malayu (menggunakan huruf “a”), bukan Melayu (dengan huruf “e”), merujuk pada asal tulisan Arab-Malayu (mim) yang dapat dibunyikan dengan ma-mi-mu. Begitu juga kalangan orientalis, biasa menulisnya dengan huruf “a”.
[7] Lihat peta dunia yang dibuat al-Idrisi tahun 562 H./1177 M. dalam “Atlas Budaya Islam” hal. 174. opcit .
[8] Lihat “Ensiklopedia Islam”, Jakarta, hal 144.
[9] Sebelum abad ke 10 M.
[10] Lihat “Atlas Budaya Islam” opcit.
[11]Kerajaan Kesultanan yang berbentuk otonomi dan tidak dibawah pusat pemerintahan berkhalifah (sentral).
[12] Lihat Tamaddun Islam oleh Mahayudin Hj. Yahaya, penerbit Fajar Bakti SDN BHD, Malaysia. op-cit, hal 232.
[13] Tidak kurang 16 pengarang dengan berbagai kepakaran menerjemahkan al-Quran secara utuh 30 juz. Dan contoh surat-surat resmi Sultan dan kitab-kitab Malayu masih tersimpan diperpustakaan London, Inggeris dan Belanda.
[14] Maksud dari al-Hadits.
[15] Kota Alhamra di Granada dikuasai oleh Kerajaan Bani Ahmar tahun 897 H./1492 M. Amir (Raja) terakhirnya Muhammad XII bergelar Abu Abdillah 890-897 H./1486-1492 M.
[16] Tampaknya bangsa Portugal adalah yang pertama kali dalam sejarah yang melengkapi kapal dagang dengan peralatan militer.
[17] Orang Serani: a) orang yang beragama Kristen, b) orang peranakan bangsa Eropah dengan Asia, c) orang Portugis. Lihat kamus Dewan hal 1256.
[18]Ditandai sebagai permulaan kapal-kapal dagang Eropa diperlengkapi dengan meriam perang dan tentara. Serta dengan doa dan restu Paus dua pelayaran; ke Barat dari Lisbon mereka menemui benua Amerika (Pelayaran Colombus tahun 1492) dan ke Selatan sampai ke Tanjung Harapan ((Cape of Good Hope), Afrika Selatan sampai ke Goa, India (pelayaran Alfonso d’Albouquerque (tahun 1503).
[19] Yang terdekat pembuangannya di kawasan nusantara sendiri. Misalnya Sultan Bagagas Syah Alam (Minangkabau) dibuang ke Batavia. Pangeran Diponogoro dibuang ke Makassar. Cut Nyak Dien ke Cianjur, Sukabumi dan lain sebagainya.
[20] Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah Timur Tanjung Harapan dan sebelah Barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
memelihara angkatan perang,
memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar negara Belanda,
memerintah daerah-daerah tersebut,
menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
memungut pajak.
[21] Lihat buku “Tausug dan Kesultanan Sulu”, Asrimoro. RNH Marketing SDN BHD. Selangor, Malaysia.